Senin, 28 Februari 2011

Kehancuran Moral dan Solusi Islam

Sekarang ini, karena pengaruh internet yang demikian luas penggunaannya, gaya berpacaran remaja di wilayah perdesaan kian mengkhawatirkan. Remaja kini tidak lagi sungkan mengajak teman sebayanya untuk berhubungan seks di luar nikah karena termakan propaganda pergaulan bebas di televisi maupun situs internet."Umumnya, remaja usia 15 tahun atau yang dikenal dengan sebutan ABG sampai mahasiswa semester awal yang berkonsultasi mengaku pernah berhubungan intim dengan pacarnya," kata Psikolog Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPP dan KB) Bahkan, ia melanjutkan, ada yang setiap kali ganti pacar selalu berhubungan suami istri.

Tidak diragukan bahwa prilaku menyimpang di atas adalah produk jahiliyah modern ) yang acuh terhadap nilai-nilai agama dan moral.Pada edisi kali ini mari kita mencoba menelusuri sejarah moral dalam kejahiliyahan modern. Salah satu tujuannya agar kita mengetahui apakah kejahiliyahan modern itu sedang menanjak atau mengalami kemerosotan. Sebab tidak sedikit yang silau memandang segala yang datang dari barat sangat manusiawi atau identik dengan kemajuan.

Latar Belakang Kehancuran Moral Bangsa Barat
Pada abad pertengahan ajaran moral yang mendominasi Benua Eropa adalah Nasrani, seperti yang digambarkan oleh kekuasaan gereja di eropa. Nabi Isa as. mengajarkan kehidupan zuhud dan menghindari kesenangan jasmani secara berlebih-lebihan. Dan ini adalah juga ajakan setiap Nabi kepada umat mereka masing-masing. Di zaman Nabi Isa persoalan ini ditekankan kembali oleh beliau karena ia melihat ketika itu manusia hidup dalam keserakahan yang menjadi-jadi dalam mengejar materi. Akibat keserakahan itu, sedikit demi sedikit mempengaruhi stabilitas moral Bani Israil dan penguasa Romawi. Di dalam injil Matius dikatakan, “tetapi aku berkata padamu setiap yang memandang perempuan dan menginginkannya maka ia sudah berzina dengan dia dalam hatinya. Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau cungkillah dan buanglah itu,karena lebih baik bagi engkau jika salah satu anggota tubuhmu binasa daripada tubuhmu dengan utuh dicampakkan dalam neraka
Dari ucapan tersebut di atas dan yang serupa dengannya, maka gereja menetapkan aturan-moral ketat kepada para pengikutnya. Di kemudian hari lahirlah sistem kerahiban yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi Isa as.
lebih jauh dan ekstrim, gereja membuat doktrin bid’ah yaitu bahwa seks adalah kotor,wanita adalah makhluk mirip setan yang wajib dijauhi, pernikahan adalah kebutuhan naluriah hewaniyah ! Sebaliknya manusia yang paling bahagia dan besar takwanya adalah sanggup “meningkatkan” kwalitas diri dan tidak menikah.
Dalam kurun waktu yang panjang kemesuman dan kebejatan moral meluas di tengah masyarakat Romawi. Sebagai reaksinya meluas pula penolakan dengan menjamurnya sistem kerahiban (hidup membujang dan menjauh dari gemerlap materi).

Abul Hasan Ali an-Nadawi mengutip ucapan Lucky (sejarah moral Eropa), ia mengatakan, “pada masa itu dunia terombang ambing oleh sistem kerahiban produk gereja yang sangat ekstrem dan maksiyat yang melampaui batas, justru di kota-kota yang paling banyak terjadi pencabulan dan kemesuman. Pada saat itu kejahatan dan kerahiban bisa menjadi dua hal yang berbeda dalam satu paket”
Selanjutnya Lucky mengatakan, “para rahib itu lari jika melihat bayangan wanita, mereka merasa berdosa jika berada atau berkumpul dekat wanita. Mereka berkeyakinan bahwa bertemu dengan wanita di pinggir jalan atau bercakap-cakap dengannya-meski wanita itu adalah ibu, saudari kandung atau bahkan istri sendiri- maka itu akan menghapuskan amal kebajikan ”.
Inilah pandangan dasar mereka tentang wanita. Bagi kaum rahib itu, wanita adalah pintu neraka. Wanitalah yang mengeluarkan laki-laki dari sorga. Andai bukan godaan wanita mungkin manusia beranak pinak di surga dan bukan di bumi.

Sikap Ekstrem berbalas Ekstrem
Begitulah seterusnya. Waktu terus bejalan sampai tiba pada satu masa, Eropa dengan pandangan jahiliyahnya yang penuh dengan penyelewengan, timbul reaksi jahiliyah yang lebih hebat lagi. Kerusakan mengerikan yang terjadi di biara-biara dengan berbagai tindak kemesuman antara rahib pria dan wanita merupakan pukulan hebat yang menggoyangkan sendi-seni kerahiban. Belum lagi dengan hukum sadis (INKUISISI) yg diterapkan oleh pihak gereja terhadap para pelanggar aturan moral, seperti pencungkilan mata, memotong atau menusuk alat kemaluan dst., memicu kebencian rakyat pada pihak gereja berikut produk undang-undangnya. Akhirnya manusia pada zaman itu muak dan memalingkan diri dari hidup “suci” dan tidak peduli dengan semua akibatnya. Mereka akhirnya dengan liar mengejar-ngejar kelezatan syahwat.
Semua itu tidak terjadi begitu saja, tapi terjadi perlahan-lahan.
Kelompok yang berusaha mempertahankan moral masyarakat terus menerus meneriakkan kebebasan seks. Sebaliknya kelompok yang membela “perkembangan” dan “kemajuan” membagus-baguskan dekadensi moral. Hanya saja kelompok yag kedua menyebarkan idenya dengan berbagai sarana..
Semua ini merupakan praktek dari budaya jahiliyah modern yang menyeleweng jauh dari tuntutan ilahi sehingga kebobrokan sedemikian jauh mencapai puncaknya. Kaum wanita telah bebas, semua manusia yang berada dalam belenggu jahiliyah telah “bebas” sebebas-bebasnya dari belenggu agama, moral dan tradisi. Pergaulan bebas antara pria dan wanita akhirnya menjadi norma yang diakui.
William Durant, berkata tentang kebobrokan moral jahiliyah modern, “Perkawinan dua orang suami istri dalam masyarakat moderen bukanlah perkawinan dalam arti sebenarnya, ia tidak lebih dari hubungan biologis semata-mata. Perkawinan tidak dilandasi atas dasar yang kokoh pasti cepat pudar karena terpisah dari tujuan hidup dan tujuan melestarikan keturunan. Pada akhirnya hubungan seperti itu membuat jiwa pasangan suami istri menciut sehingga menjadi dua individu yang serupa dengan dua keping benda yang terpisah sama sekali ”
Demikianlah seterusnya, hari ini kita saksikan hampir semua negara menikmati “berkah kebebasan” dari belenggu agama dan moral. Hampir semua telah menikmati “manisnya” hubungan bebas antara pria dan wanita lepas dari berbagai jenis ikatan moral. Di Amerika Serikat-negeri yang menghalalkan segala rupa kemesuman- melindunginya dengan kekuasaan legislatif. Bahkan ada yang melangkah lebih jauh, beberapa negara di Eropa seperti Belanda telah mengakui hubungan “suami istri” dari sesama jenis.
Sayang seribu sayang di negeri Muslim seperti Indonesia, juga sekumpulan orang yang merasa jadi pahlawan dengan menganjurkan kebebasan seperti Prof. Musda Mulia. Guru besar salah satu perguruan tinggi ini intens memberikan pembelaan terhadap kaum gay dan lesbian. Jika dukungan dan propaganda meluas entah akan menjadi apa negeri mayoritas Muslim ini. Wallahul musta’an
Islam adalah Solusi
Islam adalah Manhajul Hayat (sistem kehidupan) yang membimbing manusia menuju jalan keselamatan. Tidak ada perintah yang tertuang dalam ajaran Islam kecuali di sana ada maslahat. Sebaliknya tidak larangan yang tertuang dalam kecuali di sana ada mudharat yang menghadang. Itulah sebabnya Islam menolak sama sekali kedunguan jahiliyah modern.
Pria dan wanita dipertemukan bukan untuk hiburan dan bersenang-senang semata tanpa tujuan. Tujuan universal dari pertemuan kedua makhluk beda jenis ini untuk melahirkan masyarakat mulia dan bertakwa. Allah berfirman, “wahai manusia hendaklah kalian bertakwa pada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari satu jiwa. Dan dari jiwa itulah Allah menciptakan pasangannya. Lalu dari keduanyalah Allah menyebarkan banyak pria dan wanita…” (an-Nisa’:1)
Jadi, pertemuan antara pria dan wanita bukan pertemuan gila-gilaan tanpa aturan dan tidak bertujuan kecuali membangkitkan dan mengompori naluri negatif. Tidak sama sekali ! Jika ini mewabah di tengah masyarakat maka ini sangat berbahaya, sebab salah satu pintu kebinasaan umat dahulu adalah dikala mereka memperturutkan syahwat tanpa kendali.
Di dalam Islam, pernikahan adalah jalan terbaik dalam membina hubungan laki-laki dan perempuan. Pernikahan dalam pandangan Islam tidak semata-mata penyaluran kebutuhan biologis dan setelah semua itu tersalurkan maka selesai sudah. Tidak ! Tapi, di sana ada tanggung jawab dari kedua belah pihak. Di sana ada kewajiban menafkahi, membesarkan dan mendidik anak-anak yang lahir dari hubungan harmonis tersebut. Di sana ada kewajiban untuk terus membina harmonisasi antara suami dan istri, antara orangtua dan anak dan kewajiban menyambung hubungan kekerabatan dari keluarga laki-laki dan dari keluarga perempuan. Jika ini berlangsung dengan baik, maka sungguh ini sebuah harmoni kehidupan yang indah, hidup harmoni yang sangat diimpi-impikan oleh jahiliyah modern yang berada di ujung keruntuhan.
Pustaka nasional Al-Balagh

Kamis, 10 Februari 2011

Al-Mutafayhiqun


<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4 Saat ini perhatian kaum muslimin terhadap ajaran agamanya semakin berkembang. Fenomena banyaknya majelis ta’lim yang dibentuk di lingkungan masyarakat dalam segala segmennya adalah indikasi nyata dari hal tersebut. Keadaan ini tentu patut disyukuri oleh seluruh kaum muslimin, hidayah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala begitu banyak diturunkan kepada umat manusia agar mereka dapat menjalani hidup ini dengan tuntunan ilahi.

Namun, di sisi lain kita juga mendapatkan keadaan yang memiriskan hati. Yaitu, munculnya fenomena sikap angkuh pada sebagian kaum muslimin, khususnya di dunia intelektual. Sikap angkuh ini kadang muncul dalam bentuk perkataan, contohnya seperti: “Saya tidak butuh nasehat anda”, “Anda masih hijau, masih perlu banyak belajar”, “Ulama tidak perlu mencampuri urusan dunia”, dan lain sebagainya, dan kadang sikap tersebut terwujud dalam perbuatan, sebutlah sebagai contoh pembelaan sebagian kalangan umat Islam terhadap aliran Ahmadiyah yang jelas-jelas menentang ajaran agama Islam, atau Syiah yang menodai prinsip-prinsip agama Islam, bahkan dengan keangkuhan yang sama, mereka menuduh para ulama yang telah mengeluarkan fatwa tentang kedua aliran ini sebagai orang-orang yang tidak paham persoalan keumatan.

Sikap angkuh seperti ini, telah pernah diingatkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di dalam sebuah hadits yang shahih dengan istilah al-Tafayhuq dan pelakunya disebut sebagai al-Mutafayhiqun. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahkan mengkategorikannya sebagai akhlak yang buruk, beliau bersabda:

... وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مَجْلِساً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثاَرُوْنَ وَالْمُتَشَدِّقُوْنَ وَالْمُتَفَيْهِقُوْنَ قاَلُوْا ياَ رَسُوْلَ اللهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثاَرُوْنَ وَالْمُتَشَدِّقُوْنَ فَماَ الْمُتَفَيْهِقُوْنَ ؟ قاَلَ اَلْمُتَكَبِّرُوْنَ


“... dan sesungguhnya orang yang paling aku benci serta yang paling jauh tempatnya dariku di akhirat adalah al-tsartsarun, al-mutasyddiqun dan al-mutafayhiqun”.

Sahabat bertanya: Kami telah mengetahui al-tsartsarun dan al-mutasyaddiqun, maka apakah yang dimaksud dengan al-mutafayhiqun ?. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab: “Kaum yang sombong”.

Menurut Imam al-Nawawi, al-Tsartsarun adalah kaum yang banyak berbicara tanpa kendali, al-Mutasyaddiqun adalah kaum yang senang berbicara dengan bahasa yang meng-agungkan pribadinya.

Bahaya Sifat Angkuh

Sifat angkuh adalah salah satu sifat yang berbahaya bagi agama seseorang, hingga Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menganggapnya sebagai pencukur keberagamaan seorang manusia, bahkan di dalam suatu riwayat disebutkan bahwa sifat ini dapat menghalangi seseorang untuk masuk ke dalam syurga.

Sifat angkuh sendiri dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebagai menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain. Dengan berbagai dalih, seseorang menghalangi dirinya sendiri untuk menerima kebenaran sehingga bukannya ia semakin baik perilakunya, tetapi justru menutup diri dan membatasinya dengan sekat-sekat yang dibuatnya sendiri tanpa keterangan yang jelas dari ajaran agama. Padahal, kebenaran adalah milik Allah subhanahu wa ta’ala, setiap manusia berhak membawakannya dan setiap manusia wajib menerimanya jika ia telah datang.

الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ

“Kebenaran datangnya dari Tuhanmu, maka janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu”.

Mengatasi Sifat Angkuh

Setiap manusia memiliki potensi untuk bersifat angkuh, maka sedini mungkin hendaknya ada upaya untuk menekan potensi berbahaya tersebut. Berikut ini beberapa langkah yang bersumber dari ajaran agama Islam untuk dapat menekan sifat tersebut di dalam diri kita:

1.Mempertebal Keikhlasan Dalam Beragama
Keikhlasan adalah kemurnian dalam menjalankan segala aktifitas keberagamaan dengan mengharap hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Aktifitas keberagamaan tentulah bersifat umum pada segala kehidupan, dan kadang bersifat khusus pada kehidupan ibadah mahdhah. Keikhlasan dalam kehidupan niscaya akan melupakan seseorang terhadap pujian, sanjungan dan balasan dari sesama manusia.

Secara khusus, keikhlasan hendaknya lebih ditingkatkan pada kalangan penuntut ilmu agar supaya menghasilkan sifat tawadhu’ dan penghargaan kepada para ulama. Bukan justru sebaliknya, semakin tinggi taraf ilmunya maka ia semakin angkuh dan melecehkan ulama atau mengharapkan pujian dari orang lain. Perbuatan seperti ini justru diancam oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebagai keadaan yang dapat mengantar ke dalam neraka, naudzu billah min dzalik.

2. Mengambil Pelajaran dari Perjalanan Hidup Orang-orang yang Angkuh
Tidak ada satu keangkuhan pun yang bertahan di atas dunia ini, semuanya berakhir pada kegagalan dan kehancuran. Demikian halnya pada sifat angkuh di dalam dunia intelektual, melecehkan para ulama atau menyombongkan diri di hadapan mereka, adalah perbuatan tercela yang menghasilkan akibat tidak menyenangkan. Seorang ulama salaf pernah berkata: “Daging para ulama itu beracun, dan ketetapan Allah atas orang yang melanggarnya telah pasti (kesengsaraan)”.

3.Gemar Bermuhasabah
Muhasabah atau introspeksi diri adalah perbuatan terpuji, karena dapat mengingatkan kepada hakikat diri dan kedudukannya. Orang yang angkuh biasanya lupa diri, sehingga mudah melecehkan orang lain. Maka dengan banyak bermuhasabah, sifat angkuh akan dapat ditekan dan menumbuhkan sifat muraqabatullah (merasa diawasi oleh Allah) yang akan menghasilkan perbuatan-perbuatan terpuji.

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melindungi kita semua dari sifat angkuh dan menjauhkan kita dari golongan al-mutafayhiqun tersebut. (RAR)
Pustaka :Buletin Nasional al Balagh Edisi 004 / Tahun I R. Awal 1431 H

Mengembalikan Fungsi Masjid


Berasal dari bahasa Arab, masjid secara etimologis berarti tempat sujud. Sedangkan secara terminologis, masjid adalah tempat melakukan kegiatan ibadah dalam makna luas. Dengan demikian, masjid merupakan bangunan yang sengaja didirikan umat muslim untuk melaksanakan shalat berjamaah dan berbagai keperluan lain yang terkait dengan kemaslahatan umat muslim.Akan tetapi, bila mencermati perkembangan dewasa ini, fungsinya yang kedua ini cenderung mulai berkurang, hal ini lantaran masjid sering hanya dipahami semata-mata untuk sujud sebagaimana dilakukan dalam shalat. Masjid memiliki peran yang signifikan dalam mengembangkan dan membangun kapabilitas intelektual umat, kegiatan sosial kemasyarakatan, meningkatkan perekonomian umat, dan menjadi ruang diskusi untuk mencari solusi permasalahan umat terkini Akan tetapi, fungsi strategis di atas belakangan ini ternyata sudah banyak mengalami pergeseran.

Bahkan, ada kecenderungan umum bahwa masjid lebih difungsikan dari aspek sakralnya saja, yakni ritual seremonial. Sebaliknya fungsi-fungsi pendidikan dan sosialnya justru kurang mendapat prioritas. Dan yang paling ironi kebanyakan dari pengurus masjid saat ini lebih memperhatikan kemegahan bangunannya. Kondisi inilah yang diprediksi menjadi salah satu faktor penyebab terhambatnya kemajuan umat Islam dan rapuhnya kesatuan umat Islam. Selain itu, barangkali pula, yang menjadi salah satu faktor penyebab mundurnya peradaban dan umat Islam. Padahal, masjid merupakan tempat yang cukup strategis untuk menjadi titik pijak penggerak kemajuan umat Islam dan titik temu dan perbedaan simbol-simbol material dan strata sosial yang sering melekat pada kehidupan masyarakat kita. Pendeknya, apa yang kita temui sekarang ini, peran masjid telah direduksi sedemikian rupa sehingga masjid cenderung berperan sebagai tempat pembinaan ibadah ritual semata.

Pada masa Nabi dan khulafa ar Rasyidin, masjid berfungsi sebagai tempat beribadah, menuntut ilmu, dan merencanakan kegiatan kemasyarakatan. Kaum muslimin membicarakan masalah-masalah agama, pendidikan, sosial, politik, dan berbagai masalah kehidupan di masjid, mengajak manusia pada keutamaan, kecintaan, pengetahuan, kesadaran sosial, serta pengetahuan tentang hak dan kewajiban kepada Tuhan dan Negara. Bermula dari masjid pula, mereka menyebarkan akhlak Islam dan memberantas kebodohan. Oleh karena itu, masjid merupakan tempat paling baik bagi kegiatan pendidikan dan pembentukan moral keagamaan.

Kita merasa prihatin menyaksikan banyaknya masjid yang sepi kegiatan keislaman. Pada umumnya, rumah ibadah ini selalu dikunci dan hanya dibuka pada waktu-waktu shalat. Dari sisi pertumbuhannya, masjid di Indonesia sangat menggembirakan karena dari tahun ke tahun jumlahnya kian bertambah. Kendati demikian, secara jujur harus diakui, bahwa pemanfaatannya belum optimal. Oleh karena itu, perlu diupayakan berbagai usaha untuk memakmurkannya, di samping memfungsikannya semaksimal mungkin secara terus menerus. Karenanya, menjadi tanggung jawab umat Islam khusus para pengelolanya untuk mengembalikan masjid sesuai fungsinya semula sebagai pusat segala kegiatan kaum muslimin. Akan tetapi, untuk memakmurkan masjid melalui optimalisasi peran dan fungsinya tersebut di atas tidaklah mudah, diperlukan kemampuan manajerial (idarah) dan kesiapan waktu dari para pengelola masjid. Tentunya harus ada pembenahan internal dari jamaah masjid itu sendiri. Setidaknya, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain, mengaktifkan kepengurusan masjid, mengaktifkan kegiatan masjid, meningkatkan kepedulian terhadap amanah masjid, meningkatkan kualitas manajemen (idarah) masjid dan pemeliharaan fisik (ri’ayah) masjid.

Dalam upaya pemanfatan masjid, para pemerhati masjid termasuk di dalamya para pengelola perlu mengadakan berbagai program disertai fasilitas pendukungnya. Terdapat sejumlah kegiatan, yang perlu dijalankan untuk memakmurkan dan mengembalikan masjid kepada fungsinya sebagai pusat pemberdayaan dan pengembangan kaum Muslim, antara lain:

Mengintensifkan Kajian-kajian Keislaman (Majelis Ta’lim)
Dewasa ini, masyarakat melihat bahwa keberadaan majelis ta’lim merupakan salah satu alternatif bagi pembinaan mental keagamaan, sesuatu yang selama ini kurang dapat diberikan oleh lembaga pendidikan formal melalui kurikulum yang bersifat intrakurikuler.

Pada saat lembaga-lembaga pendidikan formal, baik umum maupun agama, yang dilaksanakan pemerintah maupun swasta mulai dirasa kurang mampu membina mental keagamaan dan penguasaan terhadap tuntutan praktis dan ajaran agama secara memuaskan. Lembaga-lembaga pendidikan umum dan agama, sulit menghasilkan lulusan yang betul-betul memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama dengan baik. Mereka tidak dapat membaca ayat-ayat al-Quran dengan baik, melaksanakan ibadah shalat dengan baik, kurang giat melakukan ibadah ritual, kurang dapat menjiwai ajaran dan nilai—nilai ajaran agama serta mulai merosot akhlaknya. Munculnya fenomena tersebut telah banyak dicarikan akar penyebabnya. Di antaranya, kurangnya jam pelajaran agama, kurangnya perhatian dan waktu pembinaan yang dilakukan orangtua di rumah, tidak sebandingnya bekal agama yang dimiliki para siswa dengan tantangan arus budaya global yang berdampak negatif, lingkungan yang kurang sehat, dan bergesernya konsep pendidikan menjadi konsep pengajaran yang lebih menekankan pada pengisian otak si anak dengan berbagai pengetahuan. Sejumlah alasán tersebut memberikan peluang sangat luas dan terbuka bagi majelis taklim untuk menampilkan keberadaannya sebagai wahana dan metode pembelajaran agama yang dinamis dan demokratis, di tengah-tengah keformalan dan keterbatasan metode pembelajaran agama secara klasikal dan konvensional di sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan formal lainnya.

Melibatkan para pemuda
Tidak diragukan lagi bahwa para pemuda memiliki peran yang sangat penting dalam tatanan kehidupan manusia secara umum dan masyarakat kaum muslimin secara khusus, karena jika mereka pemuda yang baik dan terdidik dengan adab-adab Islam maka merekalah yang akan menyebarkan dan mendakwahkan kebaikan Islam serta menjadi nakhoda umat ini yang akan mengantarkan mereka kepada kebaikan dunia dan akhirat. Hal ini dikarenakan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan kepada mereka kekuatan badan dan kecemerlangan pemikiran untuk dapat melaksanakan semua hal tersebut.

Masjid dalam hal ini tentu saja juga memiliki peran dan posisi yang strategis guna mengawal golongan generasi muda tersebut melewati masa peralihannya yang penuh gejolak itu dengan baik, yaitu utamanya dalam wadah organisasi remaja masjid. Tercatat, saat ini telah mulai banyak berdiri organisasi remaja masjid di banyak masjid dan menjadi bagian resmi dari struktur organisasi kepengurusan masjid. Di dalam organisasi ini, para anggota remaja Islam dibina dan dibentuk karakter kepribadian dan kecerdasannya sehingga kelak mampu menjalani kehidupan yang lebih Islami. Caranya, lewat berbagai macam metode dan kegiatan, di mana minat, bakat, dan kemampuan positif yang dimiliki para remaja tetap dapat diakomodasi dan disalurkan.

Bagi masjid sendiri, keberadaan organisasi remaja masjid sejatinya juga penting dalam mendukung tercapainya kemakmuran masjid yang dicita-citakan. Pasalnya, kendati tanpa remaja kegiatan masjid tetap bisa berjalan, namun secara jangka panjang tidak ada jaminan hal tersebut akan terus berlangsung, bahkan menjadi lebih baik dan bermutu. Bagaimanapun, keadaan masjid pada sepuluh, dua puluh, atau tiga puluh tahun mendatang, salah satu tolok ukurnya adalah bagaimana kondisi remajanya pada masa sekarang. Bila tidak ada pembinaan dan proses pengkaderan yang terstruktur, berjenjang, dan berkesinambungan sejak dini, bisa dipastikan masa depan masjid bersangkutan akan suram.

Hal demikian kiranya yang masih kurang dipahami oleh sementara kalangan pemimpin masjid. Tidak heran, kalaupun terdapat organisasi remaja masjid, proses awal pembentukkannya tidak melibatkan kalangan remaja secara aktif dan luas. Sementara, dalam praktiknya pun organisasi ini hanya ditempatkan sekadar “pelengkap penderita”, yang sewaktu-waktu dapat dimobilisasi atau digerakkan oleh kalangan tua untuk membantu merealisasikan aneka kegiatan masjid. Semisal, yang kerap terjadi, dalam penyelenggaraan PHBI (Peringatan Hari Besar Islam) dan kerja bakti di masjid.

Perpustakaan masjid
Salah satu faktor penyebab mundurnya peradaban dan umat Islam adalah jauhnya umat Islam dari ilmu pengetahuan (baca: buku). Pembinaan umat yang selama ini berjalan cenderung hanya menggunakan pendekatan komunikasi lisan satu arah yang justru membuat para jamaah terbiasa dengan budaya dengar. Pembinaan terpusat pada dai, ustadz, atau juru dakwah semata. Alhasil, jamaah tidak termotivasi, tidak mandiri, dan menjadi pasif dalam mendalami ajaran Islam.

Membaca merupakan bagian paling penting dari proses menuntut ilmu. Dengan membaca kita jadi tahu apa yang selama ini tidak kita ketahui. Dengan membaca inilah ilmu kita dapatkan, amal bisa kita tegakkan, dan dakwah bisa kita suarakan, Perpustakaan masjid sebagai perpustakaan komunitas bisa menjadi sebuah alternatif yang sangat bagus jika dikelola dengan baik. Bayangkan, jika setiap masjid di kampung dan desa mempunyai perpustakaan, tentu akan semakin mudah bagi masyarakat untuk mengakses bahan-bahan bacaan, Perpustakaan masjid akan menjadi sumber bacaan yang lebih merakyat karena tidak membutuhkan birokrasi yang rumit. Namun kenyataannya, praktek di lapangan sering berbeda dengan kondisi ideal yang diinginkan

Kesimpulan
Dari sisi pertumbuhannya, masjid sangat menggembirakan karena dari tahun ke tahun jumlahnya kian bertambah. Kendati demikian, secara jujur harus diakui, bahwa pemanfaatannya belum optimal. Oleh karena itu, perlu diupayakan berbagai usaha untuk memakmurkannya, di samping memfungsikannya semaksimal mungkin secara terus menerus. Karenanya, menjadi tanggung jawab umat Islam khusus para pengelolanya untuk mengembalikan masjid sesuai fungsinya semula, sebagai pusat segala kegiatan kaum muslimin. Akan tetapi, untuk memakmurkan masjid melalui optimalisasi peran dan fungsinya tersebut di atas tidaklah mudah, diperlukan kemampuan manajerial (idarah) dan kesiapan waktu dari para pengelola masjid. Tentunya harus ada pembenahan internal dari jamaah masjid itu sendiri. Setidaknya, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain, Perlunya pemahaman akan pentingnya peran dan fungsi masjid sebagai wadah dalam perbaikan umat, mengaktifkan kepengurusan masjid, mengaktifkan kegiatan masjid, meningkatkan kepedulian terhadap amanah masjid, meningkatkan kualitas manajemen (idarah) masjid dan pemeliharaan fisik (ri’ayah) masjid.

Pustaka : Buletin Nasional Al Balagh Edisi 09/Rabiut tsani 1431 H/2 April 2010

Rabu, 09 Februari 2011

Tentukan Tujuan Hidupmu

Bacalah kenyataan yang menyedihkan ini. Sebenarnya ia adalah makhluq yang beruntung. Tidak semua makhluq ciptaan Allah seperti ia. Penciptaannya sempurna. Ia sebenarnya ditakdirkan menjadi makhluq yang paling terhormat. Namun –sekali lagi, bacalah kenyataan yang menyedihkan ini-, makhluq yang satu ini masih saja terombang-ambing oleh dirinya sendiri. Ia seperti tak pernah mengerti benar mengapa ia hidup. Dan engkau pasti sudah paham siapa makhluq itu. Dia adalah kita. Aku dan kau.

Sahabatku…
Di tengah kegalauan kita ini, Aku ingin mengajakmu bersama membaca torehan tinta Ibn Qudamah Al Maqdisy tentang kita berikut ini…Ia mengatakan :
"Sesungguhnya pernah terbetik dalam pikiranku untuk mempermisalkan dunia dan para penghuninya dengan para penumpang di sebuah bahtera yang terdampar di sebuah pulau disebabkan angin lautan yang sangat kencang menghantam mereka. Pulau itu sendiri adalah tambang segala permata dan batuan mulia ; yaqut, zamrud, zabarjah, mutiara, intan dan emas serta bebatuan indah lainnya dan tanaman yang beraroma harum semerbak.
Di pulau itu juga terdapat sungai-sungai yang mengalir dan aneka taman. Akan tetapi di sana juga ada sebuah wilayah yang hanya menjadi kekuasaan seorang raja. Tempat itu dikelilingi dan dibatasi oleh pagar dan tembok yang melindungi perbendaharaan kekayaan sang raja beserta semua keluarga dan budak-budaknya.
Maka tatkala para penumpang bahtera itu turun di pulau itu, kepada mereka diumumkan : "Kalian akan tinggal di pulau ini hanya dalam sehari semalam. Karenanya gunakanlah waktu kalian yang amat singkat ini untuk sedapat-dapatnya mengumpulkan mutiara-mutiara berharga yang bertebaran…".

Orang-orang yang memiliki cita-cita tinggi dan tekad yang kuat pun segera memilih dan mengambil mutiara-mutiara berharga yang dimaksud. Mereka bersungguh-sungguh dan serius dalam bekerja. Bila keletihan, mereka akan segera mengingat betapa berharganya nilai mutiara-mutiara yang telah mereka dapatkan. Mereka juga segera menguatkan hati mereka dengan mengingat betapa singkatnya waktu yang disediakan buat mereka untuk tinggal di pulau itu.
Mereka meninggalkan segala kesenangan, lalu melanjutkan kesungguhan dan pekerjaan mereka.
Bila rasa kantuk mulai menyerang mereka, mereka kembali mengingat itu semua hingga kenikmatan tidur itupun sirna…Keletihannya pergi…
Adapula sekelompok penumpang yang lain, mereka mengumpulkan beberapa mutiara saja lalu beristirahat dan tidur bila waktu rehat dan tidur tiba.

Sedangkan penumpang yang lainnya sama sekali tidak menyentuh mutiara-mutiara itu sedikitpun. Mereka lebih memilih bersenang-senang dan berleha-leha. Di antara mereka ada yang memilih membangun rumah, istana dan bangunan yang megah. Adapula yang sekedarnya saja mengumpukan bejana dan batuan tak bernilai. Mereka benar-benar hanya menyibukkan diri mereka dengan menikmati kelezatan-kelezatan, mendengarkan hikayat-hikayat serta alunan musik yang membuai. Bagi mereka,"Biji padi yang dapat dituai hari ini lebih baik daripada permata yang dijanjikan kelak."
Jenis penumpang ketiga ini mulai melirik wilayah kekuasaan sang raja. Mereka pun mulai membuat celah dan masuk secara paksa ke dalam wilayah itu. Mereka menghancurkan pintu-pintunya, merampas apa saja yang ada di situ dan berbuat tidak senonoh terhadap budak dan anak-anak sang raja.

Dan lonceng tanda keberangkatanpun dibunyikan. Panggilan untuk para penumpang pun dikumandangkan agar mereka bergegas.

Mereka yang telah mengumpulkan begitu banyak mutiara dan menyimpannya menyambut panggilan itu dengan suka cita. Mereka sama sekali tidak merasa sedih, kecuali karena tidak lagi bisa mengumpulkan permata dan intan yang lebih banyak lagi…
Sedangkan kelompok penumpang yang kedua, kesedihan mereka semakin bertambah sebab mereka tidak sungguh-sungguh mengumpulkan permata-permata berharga itu. Begitu banyak kelalaian mereka. .Semakin sedihlah mereka karena mereka akan meninggalkan rumah yang telah mereka bangun…

Mereka akhirnya berangkat tanpa membawa bekal apapun…Menempuh perjalanan yang menakutkan….

Perjalanan bahtera itupun akhirnya berakhir juga di kota tujuan paling akhir. Segera diumumkan kepada seluruh penghuni kota : "Kini telah tiba suatu kaum yang dahulu pernah singgah di sebuah pulau tambang emas dan permata…". Para penduduk kota berduyun-duyun menyambut mereka. Dan saat sang raja melihat mereka, ia bertitah : "Perlihatkanlah barang bawaan kalian padaku !".

Para penumpang yang telah berhasil mengumpulkan permata di pulau itu menunjukkan bawaan mereka kepada sang raja. Raja senang. Ia memuji mereka seraya berkata : "Kalian adalah orang-orang khususku, ahli majelis dan kecintaanku. Kalian boleh mendapatkan apa saja yang kalian inginkan dari kemurahanku." Sang raja kemudian mengangkat mereka menjadi raja-raja seraya memberikan kepada mereka apa yang mereka inginkan. Bila mereka meminta,mereka akan diberi.

Kepada mereka disampaikan,"Ambillah apa yang kalian inginkan dan putuskanlah apa yang kalian kehendaki !". Merekapun segera mengambil istana-istana, rumah-rumah tinggi dan mewah, bidadari-bidadari, taman-taman dan wilayah kekuasaan.
menemani dan memandang sang raja yang diagungkan. Bila mereka meminta sesuatu, raja akan segera memberinya. Bahkan sebelum mereka memintanya pun sang rajalah yang akan terlebih dahulu memberikan pada mereka.

Adapun kelompok penumpang kedua, saat mereka ditanya,"Dimanakah gerangan barang bawaan kalian ?", mereka menjawab : "Kami tidak mempunyai barang bawaan…"
"Celakalah kalian ! Bukankah kalian telah berada di tambang emas dan permata ?

"Iya, tentu saja. Namun kami lebih memilih untuk berleha-leha dan tidur di sana", jawab mereka.
"Kami disibukkan untuk membangun rumah dan tempat tinggal," jawab yang lain.
"Sementara kami disibukkan hanya untuk mengumpulkan bebatuan dan kerang," ujar yang lain lagi.

Maka dikatakanlah kepada mereka :
"Kalian sungguh celaka ! Tidakkah kalian mengetahui betapa singkatnya masa tinggal kalian di pulau itu ?? Dan betapa berharganya nilai permata yang ada di sana ? Bukankah kalian mengetahui bahwa pulau itu bukanlah tempat tinggal kalian yang sesungguhnya ?? Bukankah kalian telah diberikan peringatan dan nasehat oleh para pembawa nasehat ??!"
"Tentu, demi Allah ! Kami sungguh mengetahuinya, tapi kami pura-pura bodoh. Kami telah dibangunkan namun kami pura-pura tidur. Kami mendengarkan namun kami pura-pura tuli dan tidak mendengarkan," jawab mereka.

Mereka hanya bisa menggigit jari dengan penuh penyesalan. Menangisi kelalaian mereka. Terdiam menyesal dan kebingungan.

Sedangkan kelompok yang ketiga, mereka lebih galau lagi. Mereka telah merusak wilayah kekuasaan raja di pulau itu. Mereka datang seraya memikul dosa-dosa di atas punggung mereka. Putus asa. Diam membisu. Penuh kebingungan dan kelimpungan.

Sang raja yang diagungkan murka kepada mereka. Raja pun mengusir dan menjauhkan mereka dari istananya. "Jika mereka bersabar (menderita adzab) maka nerakalah tempat diam mereka, dan jika mereka mengemukakan alasan-alasan, maka tidaklah mereka termasuk orang yang diterima alasannya." (QS 41 : 24)

Sahabatku…
Tidakkah engkau merasakan bahwa yang dikisahkan oleh Ibn Qudamah itu sesungguhnya adalah kita sendiri ? Bukankah penumpang bahtera itu adalah kita, dan bukan siapa-siapa ?. Tapi dimanakah permata-permata itu ? Atau mungkin kita sekarang ini sibuk membangun istana di pulau dunia ini. Bahkan mungkin kita telah mengoyak dan melanggar batas-batas kekuasaan Sang Raja di pulau ini ?

Masih ada waktu, Sahabat. Panggilan perjalanan itu belumlah dibunyikan. Kita hanya perlu menentukan tujuan hidup di 'pulau' dunia ini. Penentuan itulah yang akan mengubah paradigma kita tentang dunia. Apakah ia hanya tempat persinggahan, atau justru di sinilah tujuan akhir kita berlabuh.
Jadi, tentukanlah tujuan hidupmu.

Sumber
Abul Miqdad al-Madany
Muhammad Ihsan Zainuddin

VALENTINE DAY